Namaku Ahmad, aku adalah seorang laki-laki
berusia 19 tahun. Aku kuliah di salah satu universitas terkenal di kotaku.
Hidup yang ku jalani begitu indah, aku memiliki dua orang tua yang perhatian, seorang
kakak laki-laki yang akur padaku, serta pacar yang cantik dan baik hati. Kami
pacaran sejak SMA kelas satu, sampai sekarang mungkin sudah 5 tahun kami
berpacaran. Sungguh hidup yang begitu indah bukan? Mungkin banyak laki-laki
seusiaku, iri akan hidup yang ku jalani saat ini. Iyaa, aku bersyukur bisa
memiliki takdir seperti ini.
Pagi cerah, matahari merambat masuk ke dalam
kamarku melalui celah-celah jendela kamar. Ibu, membangunkan ku dengan lembut.
Menyuruhku bergegas untuk ke kampus, namun tubuh ini masih berat untuk bangkit
dari tempat tidur. Tirai dibuka oleh ibu, rasanya ingin sekali aku menutup mata
ini sedikit lebih lama lagi.
“Sayang,
ayo bangun.. Sudah pagi, nanti telat!!” Ibu membangunkan.
“Iya bu, bentar lagi.. Masih ngantuk nih!!” Aku masih nyaman di tempat tidurku.
“Iya bu, bentar lagi.. Masih ngantuk nih!!” Aku masih nyaman di tempat tidurku.
Namun apa daya ku, ibu menyuruhku bangun dan
bergegas untuk mandi. Usai mandi, ku lihati kamarku begitu rapi. Tempat tidur,
selimut sudah dirapikan oleh ibuku. Ibu memang selalu memanjakan kami anaknya.
Dia sangat sayang kepadaku dan juga kepada abangku, bang Yusuf.
Di meja makan sudah tersedia sarapan, ada
bang Yusuf dan juga ayah yang menungguku untuk sarapan bersama. Ku lihati ibu
masih sibuk menyiapkan sarapan. Bang Yusuf, hanya makan roti tawar berlapiskan
selai coklat. Sedangkan ayah, dengan nasi goreng buatan ibu. Iyaa, aku dan ayah
punya selera yang sama, nasi goreng buatan ibu sangat lezat. Ibu memang koki
terbaik yang pernah ada. Bang Yusuf, pamit untuk pergi kerja. Disalaminya ibu
dan ayah, aku pun menyaliminya, mencium tangannya sebagai tanda ku
menghormatinya. Namun dengan kebiasaannya sehari-hari, ia suka sekali mengacak-acak
rambutku setelah aku menyalaminya. Tak berseling lama, ayah dan aku bergegas
untuk berangkat. Aku pamit untuk ke kampus, dan ayah ke kantor.
Dengan motor, ku pergi kampus. Sempainya di
kampus, gadis cantik dan manis menghampiriku. Dialah pacarku, kami satu kampus
namun beda jurusan. Namanya adalah Tiwi.
“Selamat
pagi sayang” Pacarku menghampiriku dengan senyuman.
“Iya, pagi juga..” Jawabku agak jutek.
“Iya, pagi juga..” Jawabku agak jutek.
Aku memang selalu jutek dengannya, namun aku
menyayanginya. Dia baik dan juga perhatian padaku. Kami menuju kelas bersama,
ia sering mengantarku. Begitu perhatian bukan? Sebenarnya aku sedikit risih,
setiap hari dimanjain seperti itu, apalagi di depan teman-temanku. Terkadang
teman-temanku selalu mengejekku. Namun aku sudah terbiasa akan semua itu. Tiwi
anaknya emang suka menjain aku. Apalagi kalo sudah jam istirahat, ia akan
menyuapi aku seperti anak bayi saja dibuatnya. Terkadang aku akan memarahinya
jika ia terlalu memanjakanku.
Setelah pulang kuliah, Tiwi mengajakku untuk
pergi ke mall. Sebenarnya aku sangat malas berpergian ke tempat-tempat yang
rame. Tapi, demi pacar apa sih yang engak buatnya. Sesampainya di mall, ia
memintaku untuk membayarkan semua belanjaannya. Katanya sih nanti diganti,
soalnya ia lupa bawa dompet, ia sering begitu. Tapi buatku itu bukanlah sebuah
masalah, dia pacarku. Aku bertemu dengan bang Yusuf, ia bersama seseorang
laki-laki seusianya. Sepertinya itu teman kerjanya. Aku menghampirinya untuk
menyapanya.
“Bang
Yusuf, ngapain disini?” Panggil ku.
“Eh, dek.. Abang lagi nemani teman cari baju nih” Terkejut melihatku.
“Ini, teman kerjanya yah?”
“Iya, kenalin ini Romi..” Bang Yusuf ngenalin aku ke temannya.
“Heii, Nama saya Romi, ini pasti Ahmad yah? Adiknya Yusuf..”
“Hehee, iya..”
“Pacarnya?” Ia menanyakan wanita yang berada di sampingku.
“Iya, kenalin namanya Tiwi”
“Eh, dek.. Abang lagi nemani teman cari baju nih” Terkejut melihatku.
“Ini, teman kerjanya yah?”
“Iya, kenalin ini Romi..” Bang Yusuf ngenalin aku ke temannya.
“Heii, Nama saya Romi, ini pasti Ahmad yah? Adiknya Yusuf..”
“Hehee, iya..”
“Pacarnya?” Ia menanyakan wanita yang berada di sampingku.
“Iya, kenalin namanya Tiwi”
Setelah acara kenal-kenalnya, bang Yusuf
mengajak kami untuk makan bersama di restaurant. Sebenarnya aku gak enak,
soalnya yang bayarin semuanya itu temannya bang Yusuf. Tapi Tiwi memaksa untuk
makan bersama, katanya gak baik nolak tawaran seseorang. Entah mengapa aku
merasa cemburu dengan pria ini, teman bang Yusuf. Sepertinya ia suka dengan
pacarku, ia suka melirik Tiwi. Kami mengobrol banyak, tentang kerjaan bang Yusuf
dan temannya. Ternyata Romi adalah seorang manajer di kantor bang Yusuf. Namun,
ia sangat dekat dengan abangku. Selesai makan aku dan Tiwi pulang. Sedangkan
bang Yusuf dan Romi, akan kembali ke kantornya. Aku sedikit heran, kok bisa
mereka sempat-sempatnya jalan-jalan ke mall, padahal ini bukan jam pulangnya
bang Yusuf. Entahlah, itu bukan urusanku.
Aku pun pulang setelah mengantar Tiwi ke
rumahnya. Di rumahku sangat sepi, biasanya ibu akan menyambutku jika mendengar
suara motorku. Namun tak seperti biasanya, ibu sepertinya ada tamu. Soalnya, di
depan ruang bagasi ada motor ninja hitam. Aku penasaran, siapa tamu yang datang
siang bolong seperti ini. Di ruang tamu tak ada orang, heran bercampur
penasaran. Aku pun mencari-cari dimana
ibu, ke dapur, ke ruang keluarga, sampai akhirnya aku menuju kamarnya. Ku
lihati pintu kamar sedikit terbuka. Sebelum ku intip, ku dengar suara desahan.
Begitu pucatnya diriku melihat ibu bersama seorang laki-laki mudah, diatas
tempat tidur. Melakukan hal yang tak pantas. Aku sangat, aku tak bisa
berkata-kata. Ada apa dengan ibu? Kenapa ibuku seperti ini? Kenapa ia bisa
berselingkuh? Aku harus apa, aku tak tau. Bagaikan mimpi buruk, aku tak bisa
terimah semua ini. Ingin ku hentikan semua ini, ingin ku labrak ibuku yang
sedang asik bersama brondong mudahnya. Geram, emosi, sedih, heran, semua
bercampur menjadi satu. Benci, sepertinya aku membenci ibuku saat ini. Namun,
aku tak berani melaporkan ini kepada ayah atau pun bang Yusuf. Aku takut hati
ayah akan hancur, mengetahui istrinya yang ia nikahi selama 30 tahun adalah
seorang tante-tante girang.
Aku benci, sangat benci ibuku. Semuanya
bagaikan mimpi buruk. Padahal teringat jelas di pikiranku, ibu begitu baik pagi
tadi. Seorang ibu yang ku pikir sempurnah, seorang istri yang ku pikir
berbhakti pada suaminya. Namun itu semua adalah ekting belakang. Aku ingin
bercerita, entah pada siapa ku bercerita. Ku coba untuk menelpon Tiwi, tapi
nomornya sibuk. Sepertinya dia lagi menelpon seseorang. Ku coba hubungi
abangku. Ku suruh ia, agar setelah pulang kerja untuk langsung pulang ke rumah.
Sepulang
kerja, bang Yusuf langsung menemuiku di kamar. Ia melihatku sedih, ia khawatir,
ia panik. Entah harus ku mulai dari mana bercerita kepadanya. Ia memelukku,
sepertinya ia sangat khawatir padaku.
“Kamu
kenapa dek?” Bang Yusuf mengelus rambutku.
“Ibu, ibu bang.. Ibu seorang pelacur!”
“Kenapa kamu ngomong seperti itu?” Abang terkejut mendengarkannya.
“Aku gak sengaja lihat ibu di kamar, sama laki-laki.. Ibu selingkuh, bang!!! Kita harus beritau ayah..”
“Ibu, ibu bang.. Ibu seorang pelacur!”
“Kenapa kamu ngomong seperti itu?” Abang terkejut mendengarkannya.
“Aku gak sengaja lihat ibu di kamar, sama laki-laki.. Ibu selingkuh, bang!!! Kita harus beritau ayah..”
Bang Yusuf hanya terdiam, setelah ku
bercerita dari awal. Ia terpaku, entah mengapa sepertinya ada yang
disembunyikan oleh bang Yusuf. Ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu.
“Abang
gak tau harus bagaimana!”
“Kenapa bang? Abang tau sebelumnya?? Kenapa abang gak pernah cerita. Apa abang gak kasihan lihat ayah diginiin sama ibu?”
“Kasihaann…!! Kamu bilang kasihan sama ayah? Kamu gak tau, apa yang ayah buat selama ini di luar rumah. Abang lihat sendiri, ayah sering jalan dengan wanita muda. Bukan hanya sekali, abang bahkan pernah ikuti ayah sampai ke hotel bersama pelacurnya. Terus kamu bilang kasihaan? Keluarga ini sudah hancur dek, ayah ibu sudah tidak saling mencintai lagi. Mereka hanya berpura-pura mesra di depan kita”
“Kenapa bang? Abang tau sebelumnya?? Kenapa abang gak pernah cerita. Apa abang gak kasihan lihat ayah diginiin sama ibu?”
“Kasihaann…!! Kamu bilang kasihan sama ayah? Kamu gak tau, apa yang ayah buat selama ini di luar rumah. Abang lihat sendiri, ayah sering jalan dengan wanita muda. Bukan hanya sekali, abang bahkan pernah ikuti ayah sampai ke hotel bersama pelacurnya. Terus kamu bilang kasihaan? Keluarga ini sudah hancur dek, ayah ibu sudah tidak saling mencintai lagi. Mereka hanya berpura-pura mesra di depan kita”
Mendengarkan semua penjelasan dari bang Yusuf,
aku merasa dihantam dengan batu besar, tepat di hatiku. Semuanya terasa kelam,
bagaikan mimpi buruk. Aku laki-laki, tapi ingin rasanya ku menangis
sekencang-kencangnya dan sejadi-jadinya. Kenapa kedua orang tuaku tak saling
menyayangi lagi. Kenapa mereka bisa berbuat seperti ini, apa mereka tak
memikirkan kami lagi. Apa mereka sudah tak menyayangi kami lagi.
Ibu datang ke kamarku, melihatku dan bang
Yusuf sedang bersedih. Ia sepertinya khawatir, namun aku berusaha tegar untuk
menutupi semuanya. Bang Yusuf berpesan padaku agar tidak membahas semua ini
ataupun menanyakan kepada ayah dan ibu tentang apa yang baru aku ketahui. Ibu
penasaran kepada kami, melihat anak-anaknya sedih. Bang Yusuf mengalihkannya,
ia pandai memutar cerita. Bang Yusuf memberi taukan ke ibu kalo, aku sedang ada
masalah dengan Tiwi pacarku. Dan aku hanya mau bercerita semua masalahku ini
hanya kepada bang Yusuf. Sungguh hebat ia berbohong dan begitu tangguhnya ia
selama ini berpura-pura di depan orang tua kamu, seperti tak terjadi apa-apa.
Makan malam kali ini, aku seperti berada
dalam drama. Ku lihati ibu dan ayah saling bertegur sapa, bercanda di depan
kami. Jadi seperti ini kah, bang Yusuf rasakan? Begitu kuatnya ia, begitu
tegarnya ia melihat sebuah drama menyakitkan. Akhirnya aku mengerti, kenapa
belakangan ini bang Yusuf sedikit dingin dengan ayah dan ibu, ku pikir ada
masalah apa dengan bang Yusuf sebelumnya.
Setelah makan malam, bang Yusuf keluar untuk
menepati janji bersama temannya. Katanya ia tak akan pulang malam ini. Mengetahui
semua ini, membuatku sangat tidak tahan berada lama-lama di dalam rumah. Ku
putuskan untuk keluar menenangkan diri, ku hubungi Tiwi untuk menemaniku. Namun
tak seperti biasanya ia menolak untuk diajak keluar. Ada tugas kampus yang
harus diselesaikannya, aku memahami semua itu.
Aku nongrong sendirian di sebuah café,
mencoba untuk menenangkan diri. Begitu kelam keluargaku saat ini, entah cobaan
apa yang ku hadapi, ku coba untuk merenungkan semuanya. Entah sebuah kebetulan
atau apa, ku dapati bang Yusuf bersama seorang laki-laki, sepertinya itu Romi.
Ku lihati mereka begitu mesra, duduk bersama di hadapanku. Aku hanya bisa
memperhatikan dari jauh. Mereka sepertinya asik bercerita, bercanda. Sepertinya
mereka sudah lama berada dalam café.
Mereka pun beranjak untuk kesuatu tempat. Ku
ikuti mereka, mengekori bang Yusuf bersama temannya sampai ke sebuah apatermen.
Ada apa dengan bang Yusuf, aku pun terus mengikutinya sampai ke kamar. Ku
tanyai salah satu office boy, milik siapa apatermen ini. Ternyata benar
dugaanku, ini adalah apatermen milik Romi. Begitu penasarannya aku, mencoba
untuk mengintip, mencari tau apa yang sedang mereka lakukan di dalam. Terpikir
olehku untuk mengintip mereka melalui jendela. Berhubung kamar Romi berada di lantai
dua. Aku memanjati balkon kamarnya. Setelah sampai, ku lihat kejadian yang
sangat menjijikan. Bang Yusuf dan Romi sedang berciuman, mereka tak berbaju,
meraka asik berpelukkan bak sepasang kekasih. Aku tak tau harus berbuat apa.
Kenapa kakakku seperti ini? Ia ternyata seorang gay. Aku takut, apa mungkin
selama ini ia baik padaku karena dia gay. Atau mungkin ia pernah bernafsu
kepadaku. Aku bingung, sedih, marah. Ku tinggali meraka yang sedang asik
bercinta.
Aku ingin bercerita tentang masalah yang
datang bertubi-tubi menghampiriku. Aku tak tahan menahan semua penderitaan ini.
Ku putuskan untuk mendatangi rumah Tiwi. Aku benar-benar ingin melampiaskan
semua keluh kesahku padanya. Sesampainya aku di rumahnya, ternyata ia sedang
tak berada di rumah.
“Permisi
bu, Tiwinya ada?”
“Eh, Ahmad.. Saya pikir Tiwi lagi keluar sama kamu nak?”
“Keluar?? Bukannya Tiwi di rumah, lagi ngerjain tugas”
“Barusan aja Tiwi keluar, sama cowok. Ibu pikir itu kamu, mad..”
“Ohh gitu, kira-kira ibu tau Tiwinya kemana?”
“Katanya sih mau ke mall”
“Kalo gitu saya pamit dulu yah bu..”
“Eh, Ahmad.. Saya pikir Tiwi lagi keluar sama kamu nak?”
“Keluar?? Bukannya Tiwi di rumah, lagi ngerjain tugas”
“Barusan aja Tiwi keluar, sama cowok. Ibu pikir itu kamu, mad..”
“Ohh gitu, kira-kira ibu tau Tiwinya kemana?”
“Katanya sih mau ke mall”
“Kalo gitu saya pamit dulu yah bu..”
Siapa yang tak kaget mendengarkan semua ini,
Tiwi bersama cowok lain. Hatiku hancur, ingin rasanya ku akhiri hidup ku ini.
Kenapa Tuhan begitu jahat padaku, memberikanku masalah bertubi-tubi. Aku tak
tau harus bagaimana lagi. Aku sudah tak punya seseorang yang bisa ku jadikan
sandaran. Ayah ibu ku sudah tak saling menyayangi lagi, abangku ternyata
seorang gay, dan yang paling tragis adalah saat ku tau bahwa Tiwi berselingku.
Ku putuskan untuk pulang ke rumah, mencoba untuk tidur dan berharap tak bangun
lagi.
Keesokan harinya, pagi ini ibu membangunkan
ku lagi. Seperti kemarin, ia mencoba membangunkan ku dengan manja. Aku dingin
membalasnya, tetap bertahan di atas tempat tidur. Ibu pun meninggalkan ku. Aku
lupa ternyata ini hari saptu, pantes saja ia tak memaksaku untuk cepat-cepat
bangun bergegas ke kampus. Karena tak ada kuliah di hari saptu. Aku hanya bisa
berdiam diri di dalam kamar. Sampai siang aku tak kunjung keluar dari kamar.
Ibu khawatir padaku, karena dari pagi aku belum makan. Tapi aku tetap
bersikeras untuk mengurung diri dalam kamar meski sebenarnya perut ku ini
memang sengat lapar. Aku mengunci kamar. Ibu sangat-sangat khawatir padaku, ia
menghubungi bang Yusuf untuk segera pulang.
Sesampainya di rumah, bang Yusuf langsung
mengetuk kamarku. Memohon kepadaku untuk membukakan pintu. Aku bingung, serta
takut. Tapi, aku berusaha untuk mendengar penjelasan dari dia tentang semalam
yang aku lihat.
“Kamu
kenapa mengurung diri di kamar dek?”
“Entahlah, aku gak bisa terimah semua kenyataan ini”
“Sudahlah, kita sama-sama ngadapinya”
“Abang pikir aku gak tau apa yang abang buat semalaman”
“Emang semalam kenapa??” Bang Yusuf mulai terlihat pucat.
“Apa yang abang lakuin semalam di apatermen Romi, teman abang?”
“Semalam, abang ada meeting di apatermen Romi dek” Ia terlihat gugup.
“Bohongg… Aku lihat semuanya bang!! Abang sedang semalam ML dengannya kan??”
“Entahlah, aku gak bisa terimah semua kenyataan ini”
“Sudahlah, kita sama-sama ngadapinya”
“Abang pikir aku gak tau apa yang abang buat semalaman”
“Emang semalam kenapa??” Bang Yusuf mulai terlihat pucat.
“Apa yang abang lakuin semalam di apatermen Romi, teman abang?”
“Semalam, abang ada meeting di apatermen Romi dek” Ia terlihat gugup.
“Bohongg… Aku lihat semuanya bang!! Abang sedang semalam ML dengannya kan??”
Bang Yusuf terkejut, ia syok, ia bahkan tak
bergeming. Ia mencoba menjelaskannya semua padaku. Ia juga sebenarnya tidak
ingin seperti ini. Namun, nalurinya tak bisa ditepis, ia mengakui menyukai
laki-laki, ia mengakui dirinya gay. Aku pun menanyakan, apakah selama ini dia
pernah bernafsu padaku? Ia pun tertawa, mencoba mencairkan suasana. Ia bahkan
tak mau berhenti tertawa. Aku heran dibuatnya, ia pun menjelaskan bahwa selama
ini ia tak pernah kepikiran akan bersetubuh dengan adiknya sendiri. Bahkan
sekali pun ia gay, ia tak akan melakukannya bersama saudara kandungnya sendiri.
Ia sangat menyayangi ku bukan karena ia gay. Tapi, ia menyayangiku benar-benar
hanya sebagai adiknya. Aku mecoba memahami keadaan bang Yusuf, aku tau mungkin
berada diposisinya sangat sulit dijalani. Ia memohon padaku untuk selalu
menjaga rahasianya.
Mungkin hatiku saat ini sedikit terobati, aku
bisa berbagi penderitaan bersama kakak laki-lakiku satu ini. Aku mencoba
menceritakan masalahku bersama pacarku kepada bang Yusuf. Tiwi sedari pagi
menghubungiku, namun aku tak ingin bicara dengannya. Aku muyak dengannya,
mungkin selama ini ia hanya mencintai uangku saja, mungkin ia tipe cewek
matrialis. Menyadarinya setelah aku tau ia selingkuh dari. Namun, entah mengapa
bang Yusuf hanya tersenyum dan menyuruhku untuk menghubunginya. Aku bingung,
heran, kesal karena solusi yang diberikan bang Yusuf tidak membantuku sama
sekali. Tapi, bang Yusuf tetap memaksa. Aku pun mengikuti sarannya, aku
menghubungi Tiwi. Ia terdengar khawatir karena aku tak mau menjawab teleponnya.
Ia pun mengajakku untuk keluar, mungkin saja ia mau malam mingguan bersamaku.
Dalam pikiranku, kenapa bukan bersama pria semalam saja kau perginya? Namun
dari belakang, bang Yusuf memaksa ku untuk berkata iya. Aku pun menyetujuinya.
Malam hari, aku bersiap-siap untuk bermalam
minggu bersama Tiwi. Meski rasa kecewaku masih ada. Namun, aku akan berusaha
untuk mendengarkan penjelasan darinya, sedang apa ia semalam bersama pria lain.
Bang Yusuf menyuruhku membelikan bunga untuk Tiwi, aku hanya tertawa. Karena
aku bukan tipe cowok yang romantis di tambah lagi aku sedang marah padanya. Aku
langsung menuju rumahnya. Sesampai ku di rumahnya. Ku lihati ia menggunakan
dress merah menawan. Ia sangat cantik malam ini, membuatku terpukau akan
parasnya.
Kami pun menuju ke sebuah café, entah mengapa
di sini sangat sepi. Padahal malam ini adalah malam minggu. Namun tak seorang
pun yang datang. Kami duduk berdua, pelayan mendatangi kami, menanyakan minuman
apa yang kami pesan. Aku pesan Hot Capucinno, sedangkan Tiwi lebih memilih
minuman dinggin yaitu Jus Strawberry. Suasana saat ini sangat romantis di
dukung dengan lantunan musik yang begitu indah. Namun, ini belum cukup
mengobati kekecewaanku. Aku ingin bertanya padanya, bertanya tentang semalam.
Namun, ia malah menanyaiku hal aneh.
“Mana
kadoku” Tanya Tiwi tiba-tiba
“Kado? Kado apaan sih?” Pertanyaan Tiwi membuatku bingung.
“Kamu lupa yah, ini hari apa?”
“Lupa? Lupa apa sih? Ini hari saptu kan” Aku teringat sesuatu.
“Kamu bener-bener lupa yah? Kamu lupa kalo hari ini adalah hari jadian kita. Padahal aku sudah bela-belain buat pesan tempat ini, aku juga sudah belikan kamu hadiah jam tangan”
“Astaga, maaf sayang. Maafin aku. Akhir-akhir ini aku lagi ada masalah”
“Kado? Kado apaan sih?” Pertanyaan Tiwi membuatku bingung.
“Kamu lupa yah, ini hari apa?”
“Lupa? Lupa apa sih? Ini hari saptu kan” Aku teringat sesuatu.
“Kamu bener-bener lupa yah? Kamu lupa kalo hari ini adalah hari jadian kita. Padahal aku sudah bela-belain buat pesan tempat ini, aku juga sudah belikan kamu hadiah jam tangan”
“Astaga, maaf sayang. Maafin aku. Akhir-akhir ini aku lagi ada masalah”
Ternyata hari ini adalah tepat 6 tahun kami
jadian. Tepat 6 tahun lalu aku menyatakan perasaanku padanya. Pantes saja bang
Yusuf menyuruhku membeli bunga untuk Tiwi. Aku merasa bersalah. Namun, masih
terselip pertanyaan dipikiranku. Aku lupa bertanya. Sedang bersama siapa ia
semalam.
“Kamu
kemana? Katanya di rumah tapi pas aku ke rumah kamunya gak ada”
“Aku semalam pergi ke toko jam”
“Sama siapa?”
“Hehehe.. Sama teman sekelas ku. Aku minta tolong sama dia buat ngantarin aku beli kado”
“Aku semalam pergi ke toko jam”
“Sama siapa?”
“Hehehe.. Sama teman sekelas ku. Aku minta tolong sama dia buat ngantarin aku beli kado”
Aku benar-benar berasa bersalah akan semua
ini, aku telah salah paham. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini. Aku
tidak punya apa-apa untu Tiwi. Anehnya ia tidak marah, ia mengerti akan
keadaanku saat ini. Malam ini sangat indah, sesaat aku melupakan semua masalah
bersama keluarga ku. Aku akan selalu mencintai Tiwi, apapun yang terjadi.
Selama kami tidak ada yang saling mengkhianati. Aku akan berusaha menjaga
cintaku padanya, mencoba untuk selalu saling jujur.
Setelah lulus kuliah, aku ditawari kerja oleh
bang Yusuf di kantornya. Saat ini ayah dan ibuku sudah bercerai. Mereka punya
kehidupan masing-masing bersama pasangan mereka masing-masing. Aku tinggal
bersama bang Yusuf, sebelumnya ibu memohon padaku untuk tinggal bersamanya.
Namun aku lebih memilih untuk bersama kakakku. Aku hanya tak ingin melihat ibu
bersama orang lain. Aku belum terbiasa dengan semua itu. Aku akan berencana
melamar Tiwi dan berharap kelak setelah nikah nanti, hubungan kami tak seperti
hubungan ayah dan ibuku, hubungan kami bisa terjalin sampai kakek nenek tanpa
ada saling menghianati.
The End