BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan
besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu pertama, mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia
yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan
dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk
melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan
yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan
daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi
penyelenggaraan otonomi daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang
dikembangkanlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya
meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder) dalam
pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik
dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS memberikan kebebasan dan
kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab.
Pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke
level sekolah tersebut, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu
menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan
masyarakatnya. Atau dengan kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program
yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep implemantasi kebijakan
pendidikan di Makassar?
2.
Apa fungsi implemantasi kebijakan pendidikan di
Makassar?
3.
Bagaimana analisis arah implemantasi kebijakan
pendidikan di Makassar?
4.
Apa prospek ke depan dalam implemantasi
kebijakan pendidikan di Makassar?
5.
Apa saja tantangan yang akan dihadapi dalam
implemantasi kebijakan pendidikan di Makassar?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Implemantasi Kebijakan Pendidikan
- Pengertian Implementasi dan Kebijakan
Pendidikan
Implementasi adalah: pelaksanaaan, penerapan.
Menurut Joko Wododo, implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan
sejumlah sumber yang termasuk manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Proses
tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pembuat kebijakan.
Kebijakan (policy) secara etimologi
(asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya
kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan
pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya.
Abidin, menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum
dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Ali Imron dalam bukunya Analisis
Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu
kebijakan Negara.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat
penulis analisis bahwa implementasi kebijakan adalah aturan tertulis yang
merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur
prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat.
Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota
masyarakat dalam berprilaku dan Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving
dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation),
kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur
“apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat
bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan
harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
2. Ciri-ciri Kebijakan Pendidikan
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki
karakteristik yang khusus, yakni:
a. Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan
pendidikan harus memiliki tujuan tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
b. Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan
pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas
pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara
sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi
syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c. Memiliki konsep operasional
Kebijakan
pendidikan harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan
ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang
ingin dicapai.
d. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan
pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya. Para administrator
pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan
langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e. Dapat dievaluasi
Kebijakan
pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk
ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
f. Memiliki sistematika
Kebijakan
pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki
sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Hal
ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak
menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan
politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau
disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya
lokal.
B. Fungsi
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Fungsi implementasi kebijakan pendidikan,
sebagai berikut: pertama: pedoman untuk bertindak; kedua, pembatas
prilaku; dan ketiga: bantuan bagi pengambil keputusan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan
bahwa fungsi kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak,
mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak
bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.
C. Arah Kebijakan
Pendidikan di Makassar
Arah kebijakan pendidikan di Makassar berdasarkan visi,
misi, dan tujuan Peraturan
Daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penyelengaraan
Pendidikan.
-
Visi
Visi
penyelenggaraan pendidikan di Daerah adalah memberikan layanan pendidikan yang bermutu
dan merata.
-
Misi
Misi
penyelenggaraan pendidikan di Daerah adalah :
a.
Menumbuhkan pemahaman, penghayatan, pengamalan ajaran agama dan nilai-nilai
budaya
sebagai
dasar untuk berpikir dan bertindak dalam kehidupan setiap peserta didik;
b.
Menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal yang mendorong penuntasan
wajib belajar Sembilan tahun;
c.
Menumbuhkan semangat keunggulan intelektual dan kesigapan teknis dalam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni bagi peserta didik;
d.
Menumbuhkan dalam diri peserta didik sikap demokratis, transparansi,
akuntabilitas dan partisipatif;
e.
Membangun wawasan pluralitas dalam kesejagatan dan sejajar dengan bangsa-bangsa
lain tanpa kehilangan jati diri;
f.
Menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran peserta didik untuk belajar seumur
hidup agar
dapat
menghadapi setiap tantangan dan perubahan;
g.
Mempertahankan pentingnya revitalisasi pendidikan sebagai investasi sumber daya
manusia.
-
Tujuan
Penyelenggaraan
pendidikan bertujuan menghasilkan luaran yang mampu untuk :
a.
Menunjukkan kemantapan iman dan moral dalam kehidupan masyarakat yang dinamis,
terbuka, dan modern;
b.
Menunjukkan sikap demokratis dalam kemajemukan agama, budaya, suku, dan bangsa;
c.
Terus-menerus meningkatkan kompetensi dengan belajar secara mandiri;
d.
Mempertahankan sikap intelektualitas dan kemampuan teknis untuk memanfaatkan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;
e.
Menghadapi dan unggul dalam persaingan regional, nasional, dan global;
f.
Mampu menggali, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi alam sekitar untuk
kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.
D. Analisis Implementasi Kebijakan
Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Perkataan otonomi atau autonomy berasal
dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang
berarti hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis
memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving
atau “pengundangan sendiri”. “perundangan sendiri” menurut perkembangan
sejarahnya di Indonesia, istilah otonomi selain mengandung arti “perundangan”,
juga mengandung pengertian “pemerintahan” (bestuur). “mengatur atau
memerintah sendiri”. Otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan
memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum
sendiri, dan pemerintahan sendiri.
Dari beberapa konsep dan batasan di atas,
otonomi daerah jelas menunjuk pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau
mengupayakan seminimal mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak lain
atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi tersebut,
daerah bebas untuk berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan
kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan
bertindak, sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya.
Menurut kebijakan pemerintah yang tertuang
dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU
No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan
demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi
kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu
secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community
based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah
dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3)
Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma yang akan
menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang
diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad
Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk
siap bekerja membangun keluarga sejahtera.
Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan
akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas
dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi
manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang
mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang
mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan
masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan
perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam
menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang
keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut,
namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di
sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan,
peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber
pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja,
termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu.
Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang
sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai
salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat
membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun,
wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian
masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal
di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para
pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan
akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin
menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk
dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu
pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikanpun masih
terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula,
penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan
guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan,
melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran.
Pada tingkat SD/MI di kabupaten/kota, ujian
akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih
“ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah.
Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi
pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru,
sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan
itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah
hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan
Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul
bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu
pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun
berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik.
Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah,
berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis
sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan
sebagai berikut :
1.
Telah
berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
2.
Telah
dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
3.
Telah
diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
4.
Dihapuskannya
sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
5.
Pemberian
insentif kepada guru-guru negeri
6.
Bantuan dana
operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
7. Bantuan
peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti
program Pascasarjana.
Implementasi kebijakan otonomi pendidikan dalam
konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya:
1.
Secara general
otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai
jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan
persoalan-persoalan kuantitas.
2.
Pada sisi
otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan
pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang
pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
3.
Terdapat potensi
tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam
menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik
antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
4.
Kejelasan
tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi
pendidikan dapat berjalan pada relnya.
5.
Pada tingkat
persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip
School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah;
penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci
keberhasilan otonomi pendidikan.
6.
Sudah
selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan
akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan
pendidikan.
7.
Pada level
pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi
keilmuan.
8.
Dalam konteks
otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan
pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan
tinggi adalah aset nasional.
9.
Secara makro,
apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah
menonjolkan keunggulan-keunggulannya.
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi, ada
empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
1.
Dekonsentrasi,
yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam
jajaran birokrasi pusat.
2.
Pendelegasian, yaitu
pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola
secara public.
3.
Devolusi, yakni
pengalihan ke unit pemerintahan daerah
4.
Swastanisasi,
berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi
khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan
konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru,
bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini
adalah:
1. Implementasi Kebijakan pendidikan
nasional yang sangat terpusat dan serba seragam, cendrung mengabaikan keragaman
realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
2. Implementasi kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada
gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau
seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran khususnya Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih mengutamakan aspek kognitif dan
cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.
E. Prospek Kebijakan Pendidikan Dalam Bidang
Desentralisasi Pendidikan.
Desentralisasi pendidikan memiliki kaitan yang sangat
erat dengan standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan sendiri
merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Target utama standar nasional pendidikan
adalah lahirnya standar kompetensi minimum lulusan pada satuan pendidikan di
masing-masing daerah.
Kriteria minimum yang dengan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) merupakan tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan
wajibyang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Kewenangan ini
yang diwajibkan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk menjamin
keterlaksanaan pelayanan kepada masyarakat.
Standar nasional pendidikan belum cukup luas
disosialisasikan, khususnya di daerah-daerah. Apalagi target pelaksanaanya baru
dimulai pada tahun 2006 hingga 2008. seperti SPM telah di jabarkan dalam
standar teknis yang meliputi:
1. standar isi
Ruang lingkup standar isi meliputi
materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria sebagai berikut:
kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Dan standar teknis sudah diatur pada PP No. 19/2005 pasal
5 Ayat (1).
2. Standar proses
Standar proses dimaksudkan sebagai
proses pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi yang meliputi:
· Proses perencanaan, meliputi perencanaan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran,
sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.
· Proses pelaksanaan, mempertimbangkan jumlah maksimal peserta didik perkelas
dan beban mengajar maksimal per pendidik, rasio maksimal buku teks pelajaran
setiap peserta didik dan rasio malsimal jumlah peserta didik setiap pendidik
serta dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis.
· Proses penilaian, menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan
kompetensi dasar yang harus dikuasai.
· Proses pengawasan, meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan
pengambilan langkah tindal lanjut yang diperlukan.
Dari keempat proses tersebut masih
sangat berat dilaksanakan hal ini dikarenakan memerlukan anggaran yang tidak
sedikit, sedangdi daerah-daerah anggaran umtuk kegiatan itu masih sangat kecil.
Salah atu contoh untuk pengadaan buku teks, diharapkan setiap anak didik
mendapatkan satu buku teks untuk setiap mata pelajaran. Namun kenyataannya
masih banyak anak didik yang belum mendapatkan buku teks tersebut. Hal ini berdampak
buruk terhadap hasil ujian nasional, dimana prosentase ketidaklulusannya masih
tinggi, bahkan masih jauh dibawah rata-rata nasional. pasal 19 Ayat (1).
3. Standar
Kompetensi Lulusan
Standar kompetensi lulusan (SKL)
didefinisikan sebagai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterampilan. SKL digunakan sebagai pedomanpanilaian dalam
penentuankelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Tetapi standar
kelulusan di daerah masih tergolong rendah, ini dapat dilihat dari angka
ketidaklulusan peserta ujian nasional masih di atas rata-rata nasional. Dan
sebagian kalangan masih menganggap ujian nasional tidak terkait dengan
kompetensi, apalagi materi uji pada ujian nasional hanya difokuskan pada mata
pelajaran yang berunsur pengetahuan seperti,Bajasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika. Sementara itu materi lainnya yang menyangkut sikap dan
keterampilan tidak diujikan secara nasional. pasal 25 Ayat (1)
4. Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
merupakan kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental,
serta pendidikan dalam jabatan. Yang menjadikan kendala di daerah sekarang ini
adalah bagaimana kewajiban pendidik tersebut juga harus ditopang oleh tingkat
kesejahteraannya. Sebenarnya pemerintah daerah telah menetapkan kebijakan yang
memberikan berbagai pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kesejahteraan
pendidik. Hanya saja orientasi pembangunan sarana dan prasarana umum seperti
gedung perkantoran, jalan dan lain sebagainya masih menjadi prioritas utama.
Sementara pendidikan belum menjadi prioritas utama. Pasal 28 Ayat (1).
5. Standar Sarana
dan Prasarana
Standar sarana dan prasarana merupakan
standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang
ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan,
laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi,
serta sumber beljar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran,
termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Dan setiap tahun
pendidika wajib memiliki sarana prasarana tersebut yang lengkap secara bertahap
6. Standar
Pengelolaan.
Standar pengelolaan merupakan standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
Dengan kaitannya ini dinas pendidikan
juga telah menetapkan kebijakan dibidang pendidikan terkait dengan standar
pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat melalui
pengembangan dewan pendidikan ditingkat kabupaten/kota dan komite sekolah
sesuai dengan kebutuhan.
7. Standar
Pembiayaan
Standar Pembiayaan merupakan standar
yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang
berlaku selama satu tahun. Pembiayaan ini meliputi biaya penyediaan sarana dan
prasarana, pengembangan sumber daya manusia, biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara
teratur dan berkelanjutan, gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala
tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai,
dan lain sebagainya.
8. Standar
Penilaian Pendidikan
Standar Penilaian Pendidikan merupakan
standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.Hanya saja penilaian dari pihak
pemerintah masih berorientasi pada kompetensi di bidang pengetahuan saja,
sedang mengenai sikap dan dan keterampilan belum mendapat perhatian.
F. Tantangan Masa Depan Kebijakan Pendidikan
Sebuah Inferensi
Prospek desentralisasi pendidikan di daerah masih jauh
dari harapan, jika dilihat dari kondisi riil yang terlihat dari standar teknis
sebagaimana PP 19 tahun 2005. banyak tantangan yang perlu disiapkan antara
lain:
Pertama, dibutuhkan komitmen kuat dari daerah untuk mengembangkan
standar nasional pendidikan. Hal ini sangat penting untuk memenuhi tantangan
pertumbuhan ekonomi yang makin pesat. Kompetensi standar kelulusan akan
melahirkan manusia-manusia yang unggul dari daerah-daerah lain. Komitmen yang
dimaksud adalah berupa alokasi anggaran yang lebih besar untuk pengembangan
mutu pendidikan melalui pemenuhan kebutuhan agar standar pelayanan minimal
mampu diimplementasi.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan daerah dari fisik ke non
fisik. Masih banyak diorientasikan ke pembangunan fisik daripada investasi
pembangunan dalam bidang sumber daya manusia (non fisik). Hal ini dapat
menimbulkan dampak kesenjangan sosial, terutama bagi para pendidik atau tenaga
kependidikan dengan para pegawai kantoran. Dan perbedaan SDM yang dimiliki oleh
para peserta didik dengan pegawai- pegawai lain.
Sementara ke-(tak)-terikatan di pihak
daerah, antara lain terlihat pada masih rendahnya alokasi anggaran ke sektor
pendidikan. Sebagian besar kabupaten/kota menghabiskan sekitar 70-75%
anggarannya untuk belanja rutin birokrasi, dan sisa 25-30% untuk pembangunan,
di mana sektor pendidikan hanya kebagian 2-3%. Di tengah maraknya praktik KKN,
dunia pendidikan justru mengerang kesakitan lantaran gedung-gedung sekolah yang
rusak berat, gaji guru yang seolah menghina kemuliaan profesi tersebut. Paparan
di atas menyiratkan tanggung jawab multipihak dalam konsep desentralisasi
pendidikan. Dalam ranah praktis, ia tidak saja berarti terlibatnya triple
kekuatan pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam urusan pendidikan,
tetapi juga menyiratkan prasyarat sinergi kebijakan dengan sektor-sektor lain.
Aspek fiskal misalnya. Depdiknas, dalam rencana strategisnya, menerjemah konsep
tersebut dengan membagi beban biaya penuntasan wajib belajar 9 tahun sebesar Rp
56,7 triliun di antara pusat/provinsi (60%), kabupaten/kota (25%), dan
masyarakat (15%).
Problem desentralisasi di sektor-sektor
lain, solusi yang ditempuh bukanlah meresentralisasi, tetapi menyempurnakan
konsep dan memperkuat kapasitas pelaksanaannya. Untuk itu, urut-urutan langkah
berikut menjadi prasyarat. Pertama, memperjelas pembagian kewenangan
pusat-daerah (menyangkut anggaran, personal dan kurikulum) dan disiplin
pelaksanaannya. Kedua, pembagian kewenangan itu harus simetris dengan
perimbangan keuangan pusat-daerah (money follows function). Ketiga, di level
daerah, desentralisasi juga harus berlanjut sampai ke tingkat basis, yakni
institusi sekolah sendiri, dalam kerangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Keempat, konsep manajemen pendidikan ini harus dikembalikan kepada rohnya yakni
mendorong partisipasi multi-stakeholders yang terwadahi dalam dewan pendidikan
dan komite sekolah, bukan keleluasaan memungut berbagai ”dana partisipasi” dari
masyarakat yang malah tidak proporsional dan rawan penyimpangan.
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam
bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang
diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1)
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management),
(2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based
education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning
paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad
Base Education System (BBE)
Proses implementasi kebijakan hanya dapat
dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum
telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya
telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
Evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih
belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam
metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh
karena itu aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan perlu
ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan
kebijakan pada segi implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah,
Jakarta: Media Sarana Press, 1987.
Ali Imron, Kebijakan
Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan
Keputusan Manajerial, Jakarta: LPMP, 1995.
H.A.R. Tilaar, Kebijakan
Pendidikan: Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan
sebagai kebijakan public, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
J.Wayong, Asas dan
Tujuan Pemerintahan Daerah, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979.
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik Konsep dan
Aolikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Malang: Bayumedia Publishing,
2007.
Riant Nugroho, Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa
Revolusi, Jakarta: PT Elex Media Computindo, 2000.
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta: Suara
Bebas, 2006.
Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2008.
Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.